Disusun Oleh :
Putu Eka Surya Putra (0713031001)
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Kimia, Fakultas MIPA, Undiksha Singaraja
Pendahuluan
Setiap hari kita memerlukan makanan untuk mendapatkan energi (karbohidrat dan lemak) dan untuk pertumbuhan sel-sel baru, menggantikan sel-sel yang rusak (protein). Selain itu, kita juga memerlukan makanan sebagai sumber zat penunjang dan pengatur proses dalam tubuh, yaitu vitamin, mineral, dan air.
Sehat tidaknya suatu makanan tidak bergantung pada ukuran, bentuk, warna, kelezatan, aroma, atau kesegarannya, tetapi bergantung pada kandungan zat yang diperlukan oleh tubuh. Suatu makanan dikatakan sehat apabila mengandung satu macam atau lebih zat yang diperlukan oleh tubuh. Setiap hari, kita perlu mengonsumsi makanan yang beragam agar semua jenis zat yang diperlukan oleh tubuh terpenuhi. Hal ini dikarenakan belum tentu satu jenis makanan mengandung semua jenis zat yang diperlukan oleh tubuh setiap hari. Supaya orang tertarik untuk memakan suatu makanan, seringkali kita perlu menambahkan bahan-bahan tambahan ke dalam makanan yang kita olah. Bisa kita perkirakan bahwa seseorang tentu tidak akan punya selera untuk memakan sayur sop yang tidak digarami atau bubur kacang hijau yang tidak memakai gula. Dalam hal ini, garam dan gula termasuk bahan tambahan. Keduanya termasuk jenis zat aditif makanan. Zat aditif bukan hanya garam dan gula saja, tetapi masih banyak bahan-bahan kimia lain. Zat aditif makanan ditambahkan dan dicampurkan pada waktu pengolahan makanan untuk memperbaiki tampilan makanan, meningkatkan cita rasa, memperkaya kandungan gizi, menjaga makanan agar tidak cepat busuk, dan lain sebagainya.
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa penggunaan bahan tambahan makanan dewasa ini sangat beragam, dari pengawet sampai ke pemberi aroma dan pewarna. Penggunaan bahan tambahan itu sediri bagi produsen mempunyai latar belakang yang berbeda-beda, namun bagi konsumen sendiri, penambahan bahan tersebut tidak semuanya diperlukan. Bahkan ada bahan yang justru membahayakan konsumen.
Masalah penggunaan bahan tambahan makanan dalam proses produksi pangan perlu diwaspadai bersama, baik oleh produsen maupun oleh konsumen, mengingat penggunaannya dapat berakibat positif maupun negatip bagi masyarakat
Untuk tujuan di atas, perlu kiranya pengetahuan mengenai bahan tambahan makanan. Selain itu, pengetahuan teknis mengenai BTM juga diperlukan untuk mendapatkan manfaat yang optimal serta terjaminnya aspek keamanan produk yang dihasilkan. Pemakaian BTM umumnya diatur oleh lembaga-lembaga seperti Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (Ditjen POM) di Indonesia, Food and Drug Adminstration di USA. Peraturan mengenai pemakaian BTM berbeda-beda di satu negara dengan lainnya. Di Indonesia, peraturan tentang BTM dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan dan pengawasannya dilakukan oleh Ditjen POM.
Didalam peraturan tersebut dinyatakan bahwa penggunaan BTM dapat dibenarkan apabila (1) dimaksudkan untuk mencapai masing-masing tujuan penggunaan dalam pengolahan, (2) tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau tidak memenuhi persyaratan, (3) tidak digunakan untuk menyembunyikan cara kerja yang bertentangan dengan cara produksi yang baik untuk makanan dan (4) tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan makanan..
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 235/MEN.KES/ PER/VI/1979 tanggal 19 Juni 1979 mengelompokkan BTM berdasarkan fungsinya yaitu (1) antioksidan, (2) anti kempal, (3) pengasam, penetral dan pendapar, (4) enzim, (5) pemanis buatan, (6) pemutih dan pematang, (7) penambah gizi, (8) pengawet, (9) pengemulsi, pemantap dan pengental, (10) pengeras, (110 pewarna alami dan sitetik, (12) penyedap rasa dan aroma, (13) seskuestran dan (14) bahan tambahan lain
Pengertian Bahan Tambahan Makanan (BTM)
Bahan Tambahan Makanan (BTM) atau food additives didefinisikan sebagai bahan atau campuran bahan yang secara alami bukan merupakan bagian dari bahan baku pangan, tetapi ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan, antara lain bahan pewarna, pengawet, penyedap rasa, anti gumpal, pemucat, dan pengental.
Menurut FAO didalam Furia, (1980) bahan tambahan makanan (BTM) atau food additives didefinisikan sebagai senyawa yang sengaja ditambahkan ke dalam makanan dan terlibat dalam proses pengolahan, pengemasan dan atau penyimpanan dan bukan merupakan bahan (ingredient) utama. Sementara itu pada Buku Undang-undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan Khususnya pada Bab II (Keamanan Pangan) Bagian Kedua disebutkan bahwa yang dimaksud dengan bahan tambahan pangan adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan
Tujuan penambahan BTM secara umum adalah untuk (1) meningkatkan nilai gizi makanan, (2) memperbaiki nilai sensori makanan dan (3) memperpanjang umur simpan (shelf life) makanan. Selain tujuan-tujuan tersebut , BTM sering digunakan untuk memproduksi makanan untuk kelompok konsumen khusus, seperti penderita diabetes, pasien yang baru mengalami operasi, orang-orang yang menjalankan diet rendah kalori atau rendah lemak, dan sebagainya.
Dalam pemilihan jenis BTM yang akan diaplikasikan suatu industri faktor pertama yang perlu diperhatikan adalah jenis produk apa yang akan dihasilkan dan bagaimana BTM mempengaruhi mutu produk tersebut. BTM yang dipilih adalah BTM yang mempunyai fungsi yang diharapkan. Untuk itu pengetahuan teknis mengenai BTM sangat diperlukan. Tidak kalah pentingnya , juga harus dilihat peraturan pemerintah dalam hal ini peraturan Menteri Kesehatan mengenai BTM, karena selain untuk menjamin keamanan pruduk, juga hal ini merupakan sesuatu prasyarat yang harus dipenuhi pada waktu mendaftarkan produk ke Departemen Kesehatan untuk mendapatkan nomer MD.
Faktor harga juga perlu menjadi perhatian, terutama karena harga BTM ini bisa menentukan harga produk yang akan dihasilkan. Dari beberapa pilihan BTMyang ada, ditunjang oleh pengetahuan teknis dan adanya peraturan pemerintah, maka dibuat beberapa formulasi produk. Dari serangkaian eksperimen yang dilakukan di laboratorium yang meliputi uji organoleptik dan uji penyimpanan, akan didapat satu formula yang optimal yang selanjutnya bisa diproduksi. Dengan demikian bisa ditetapkan jenis BTM yang akan dipakai di produk.
BTM yang ditambahkan adalah untuk membantu teknologi pengolahan pangan, ada yang memiliki nilai gizi namun ada juga yang tidak. Secara umum, zat aditif makanan dapat dibagi menjadi dua yaitu :
1. aditif sengaja, yaitu aditif yang diberikan dengan sengaja dengan maksud dan tujuan tertentu, seperti untuk meningkatkan nilai gizi, cita rasa, mengendalikan keasaman dan kebasaan, memantapkan bentuk dan rupa, dan lain sebagainya.
2. aditif tidak sengaja, yaitu aditif yang terdapat dalam makanan dalam jumlah sangat kecil sebagai akibat dari proses pengolahan.
Bahan yang tergolong ke dalam zat aditif makanan harus dapat:
1. Memperbaiki kualitas atau gizi makanan;
2. Membuat makanan tampak lebih menarik;
3. Meningkatkan cita rasa makanan; dan
4. Membuat makanan menjadi lebih tahan lama atau tidak cepat basi dan busuk.
Selain itu secara khusus kegunaan BTP di dalam pangan adalah untuk:
1. Mengawetkan pangan dengan mencegah pertumbuhan mikroba perusak pangan atau mencegah terjadinya reaksi kimia yang dapat menurunkan mutu pangan.
2. Membentuk makanan menjadi lebih balk, renyah, dan lebih enak di mulut.
4. Meningkatkan kualitas pangan.
5. Menghemat biaya.
BTM sering digunakan untuk memproduksi makanan untuk kelompok konsumen khusus, seperti penderita diabetes, pasien yang baru mengalami operasi, orang-orang yang menjalankan diet rendah kalori atau rendah lemak, dan sebagainya
Zat-zat aditif tidak hanya zat-zat yang secara sengaja ditambahkan pada saat proses pengolahan makanan berlangsung, tetapi juga termasuk zat-zat yang masuk tanpa sengaja dan bercampur dengan makanan. Masuknya zat-zat aditif ini mungkin terjadi saat pengolahan, pengemasan, atau sudah terbawa oleh bahan-bahan kimia yang dipakai. Zat aditif makanan dapat dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu:
1. Zat aditif yang berasal dari sumber alami, seperti lesitin dan asam sitrat;
2. Zat aditif sintetik dari bahan kimia yang memiliki sifat serupa dengan bahan alami yang sejenis, baik susunan kimia maupun sifat/fungsinya, seperti amil asetat dan asam askorbat.
Berdasarkan fungsinya, baik alami maupun sintetik, zat aditif dapat dikelompokkan sebagai zat pewarna, pemanis, pengawet, dan penyedap rasa. Zat aditif dalam produk makanan biasanya dicantumkan pada kemasannya.
Keuntungan zat aditif
Penggunaan zat aditif memiliki keuntungan meningkatkan mutu makanan dan pengaruh negatif bahan tambahan pangan terhadap kesehatan. Agar makanan dapat tersedia dalam bentuk yang lebih menarik dengan rasa yang enak, rupa dan konsentrasinya baik serta awet maka perlu ditambahkan bahan makanan atau dikenal dengan nama lain “food additive”. Penggunaan bahan makanan pangan tersebut di Indonesia telah ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan Undang-undang, Peraturan Menteri Kesehatan dan lain-lain disertai dengan batasan maksimum penggunaannya. Di samping itu UU Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan Pasal 10 ayat 1 dan 2 beserta penjelasannya erat kaitannya dengan bahan tambahan makanan yang pada intinya adalah untuk melindungi konsumen agar penggunaan bahan tambahan makanan tersebut benar-benar aman untuk dikonsumsi dan tidak membahayakan.
Namun demikian penggunaan bahan tambahan makanan tersebut yang melebihi ambang batas yang ditentukan ke dalam makanan atau produk-produk makanan dapat menimbulkan efek sampingan yang tidak ikehendaki dan merusak bahan makanan itu sendiri, bahkan berbahaya untuk dikonsumsi manusia. Semua bahan kimia jika digunakan secara berlebih pada umumnya bersifat racun bagi manusia. Tubuh manusia mempunyai batasan maksimum dalam mentolerir seberapa banyak konsumsi bahan tambahan makanan yang disebut ADI atau Acceptable Daily Intake. ADI menentukan seberapa banyak konsumsi bahan tambahan makanan setiap hari yang dapat diterima dan dicerna sepanjang hayat tanpa mengalami resiko kesehatan. ADI dihitung berdasarkan berat badan konsumen dan sebagai standar digunakan berat badan 50 kg untuk negara Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya. Satuan ADI adalah mg bahan tambahan makanan per kg berat badan.
Contoh: ADI maksimum untuk B-karoten = 2,50 mg/kg, kunyit (turmerin) = 0,50 mg/kg dan asam benzoat serta garam-garamnya = 0,5 mg/kg.
Untuk menghitung batas penggunaan maksimum bahan tambahan makanan, digunakan rumus sebagai berikut:
BPM = (ADI x B/K) x 1000 (mg/kg)
Di mana BPM = batas penggunaan maksimum (mg/kg)
B = berat badan (kg)
K = konsumsi makanan (gr)
Peraturan Tentang Penggunaan BTM.
Peraturan pemakaian BTM berbeda-beda antara satu negara dengan negara lain. Di Indonesia pemerintah melalui Departemen Kesehatan telah mengeluarkan peraturan tentang penggunaan BTM yang dapat dijadikan acuan oleh masyarakat, pengusaha, dan pemerintah dalam melakukan pengawasan antara lain :
Ø Undang-Undang Republik Indonesia No.7 Tahun 1996, Bab II Keamanan Pangan
Ø Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/88, tentang persyaratan bahan tambahan makanan yang diijinkan, dosis pemakaian, dan label kemasan
Ø Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 208/Menkes/Per/IV/85, tentang penggunaan pemanis buatan
Ø Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 239/Menkes/Per/V/85, tentang pemakaian zat warna yang dilarang
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 235/MEN.KES/ PER/VI/1979 tanggal 19 Juni 1979 mengelompokkan BTM berdasarkan fungsinya yaitu :
1. Antioksidan,
2. Anti kempal,
3. Pengasam, penetral dan pendapar,
4. Enzim,
5. Pemanis buatan,
6. Pemutih dan pematang,
7. Penambah gizi,
8. Pengawet,
9. Pengemulsi, pemantap dan pengental,
10. Pengeras,
11. Pewarna alami dan sitetik,
12. Penyedap rasa dan aroma,
13. Seskuestran
14. Bahan tambahan lain.
Pengelompokan BTP yang diizinkan digunakan pada makanan menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/88 adalah sebagai berikut:
a. Pewarna, yaitu BTP yang dapat memperbaiki atau memberi warna pada makanan.
b. Pemanis buatan, yaitu BTP yang dapat menyebabkan rasa manis pada makanan, yang tidakatau hampir tidak mempunyai nilai gizi.
c. Pengawet, yaitu BTP yang dapatmencegah menghambat fermentasi, pengasaman atau peruraian lain pada makanan yang disebabkan oleh pertumbuhan mikroba
d. Antioksidan, yaitu BTP yang dapat mencegah atau menghambat proses oksidasi lemak sehingga mencegah terjadinya ketengikan.
Antioksidan
Antioksidan adalah bahan tambahan yang digunakan untuk melindungi komponen-komponen makanan yang bersifat tidak jenuh (mempunyai ikatan rangkap), terutama lemak dan minyak. Meskipun demikian antioksidan dapat pula digunakan untuk melindungi komponen lain seperti vitamin dan pigmen, yang juga banyak mengandung ikatan rangkap di dalam strukturnya
Mekanisme kerja antioksidan secara umum adalah menghambat oksidasi lemak. Untuk mempermudah pemahaman tentang mekanisme kerja antioksidan perlu dijelaskan lebih dahulu mekanisme oksidasi lemak. Oksidasi lemak terdiri dari tiga tahap utama yaitu inisiasi, propagasi, dan terminasi. Pada tahap inisiasi terjadi pembentukan radikal asam lemak, yaitu suatu senyawa turunan asam lemak yang bersifat tidak stabil dan sangat reaktif akibat dari hilangnya satu atom hidrogen (reaksi 1). pada tahap selanjutnya, yaitu propagasi, radikal asam lemak akan bereaksi dengan oksigen membentuk radikal peroksi (reaksi 2). Radikal peroksi lebih lanjut akan menyerang asam lemak menghasilkan hidroperoksida dan radikal asam lemak baru (reaksi 3).
Inisiasi : RH ---- R* + H* (1)
Propagasi : R* + O2 -----ROO* (2)
ROO* + RH -----ROOH +R* (3)
Hidroperoksida yang terbentuk bersifat tidak stabil dan akan terdegradasi lebih lanjut menghasilkan senyawa-senyawa karbonil rantai pendek seperti aldehida dan keton yang bertanggungjawab atas flavor makanan berlemak. Tanpa adanya antioksidan, reaksi oksidasi lemak akan mengalami terminasi melalui reaksi antar radikal bebas membentuk kompleks bukan radikal (reaksi 4)
Terminasi : ROO* +ROO* ---- non radikal (reaksi 4)
R* + ROO* ---- non radikal
R* + R* ----- non radikal
Antioksidan yang baik akan bereaksi dengan radikal asam lemak segera setelah senyawa tersebut terbentuk. Dari berbagai antioksidan yang ada, mekanisme kerja serta kemampuannya sebagai antioksidan sangat bervariasi. Seringkali, kombinasi beberapa jenis antioksidan memberikan perlindungan yang lebih baik (sinergisme) terhadap oksidasi dibanding dengan satu jenis antioksidan saja. Sebagai contoh asam askorbat seringkali dicampur dengan antioksidan yang merupakan senyawa fenolik untuk mencegah reaksi oksidasi lemak.
Adanya ion logam, terutama besi dan tembaga, dapat mendorong terjadinya oksidasi lemak. Ion-ion logam ini seringkali diinaktivasi dengan penambahan senyawa pengkelat dapat juga disebut bersifat sinergistik dengan antioksidan karena menaikan efektivitas antioksidan utamanya.
Suatu senyawa untuk dapat digunakan sebagai antioksidan harus mempunyai sifat-sifat : tidak toksik, efektif pada konsentrasi rendah (0,01-0,02%), dapat terkonsentrasi pada permukaan/lapisan lemak (bersifat lipofilik) dan harus dapat tahap pada kondisi pengolahan pangan umumnya.
Berdasarkan sumbernya antioksidan dapat digolongkan ke dalam dua jenis yaitu jenis pertama, antioksidan yang bersifat alami, seperti komponen fenolik/flavonoid, vitamin E, vitamin C dan beta-karoten dan jenis ke dua, adalah antioksidan sintetis seperti BHA (butylated hydroxyanisole), BHT (butylated hydroxytoluene, propil galat (PG), TBHQ (di-t-butyl hydroquinone). Tabel 1. Menunjukan komponen-komponen flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan beserta sumbernya
BHA (Butylated Hydroanisole). BHA merupakan campuran dari 2 isomer yaitu 2- dan 3-tertbutilhidroksianisol . Diantara ke dua isomer, isomer 3-tert memiliki aktifitas antioksidan yang lebih efektif dari isomer 2-tert. Bentuk fisik dari BHA adalah padatan putih menyerupai lilin, bersifat larut dalam lemak dan tidak larut dalam air
BHT (Butylated Hydroxytoluene). Sifat-sifat BHT sangat mirip dengan BHA dan bersinergis dengan BHA.
Propil Galat. Propil galat merupakan ester dari propanol dari asam trihidroksi benzoat. Bentuk fisik dari propil galat adalah kristal putih. Propil galat memiliki sifat-sifat : (1) dapat bersinergis dengan BHA dan BHT, (2) sensitif terhadap panas, (3) membentuk kompleks berwarna dengan ion logam, oleh karenanya jika dipakai dalam makanan kaleng dapat mempengaruhi penampakan produk.
TBHQ (Tertiary Butylhydroquinone). TBHQ merupakan antioksidan yang paling efektif dalam minyak makan dibandingkan BHA, BHT, PG dan tokoferol. TBHQ memiliki sifat-sifat (1) bersinergis dengan BHA (2) cukup larut dalam lemak (3) tidak membentuk komplek dengan ion logam tetapi dapat berubah menjadi merah muda, jika bereaksi dengan basa
Dosis pengunaan dari masing-masing antioksidan sintetik ini tidak sama untuk masing-masing negara. Tabel 2 menunjukkan dosis pemakaian antioksid BHA, BHT, Galat dan TBHQ pada beberapa Negara
Tabel 1. Beberapa contoh komponen flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan
Komponen | Sumber |
Vitamin Vitamin C Vitamin E | Buah-buahan & sayuran Padi-padian, kacang-kacangan dan minyak |
Anthosianidin Oenin Cyanidin Delphinidin | Anggur (wine) Buah anggur, raspberri, strawberri Kulit buah aubergine |
Flavo-3-ols Quercertin Kaempferol | Bawang, kulit buah apel, buah berri, buah anggur, tea dan brokoli Leek, brokoli, buah anggur dan the |
Flavonone Rutin Luteolin Chrysin Apigenin | Bawang, kulit buah apel, buah berri, buah anggur, tea dan brokoli Lemon, olive, cabe merah Kulit buah Celery dan parsley |
Flavan-3-ols (Epi)catecin Epigallocatecin Epigallocatecin gallate Epicatecin gallate | Red/black grape wine Tea Tea Tea |
Flavonone Taxifolin Narirutin Naringenin Hesperidin Hesperetin | Buah jeruk citrus Buah jeruk citrus Buah jeruk citrus Jus Orange Jus Orange |
Theaflavin Theaflavin Theaflavin-3-gallate Theaflavin-3’-gallate Theaflavin digallate | Black tea Black tea Black tea Black tea |
Hydroxycinnamat Caffeic acid Chlorogenic acid Ferulic acid p-Coumaric acid | Buah anggur putih, olive, asparagus Buah apel, pir, cherry, tomat dan peach Padi-padian, tomat, asparagus Buah anggur putih, tomat, asparagus |
Sumber : Rice-Evans et al. (1997)
Tabel 2. Dosis maksimum pemakaian antioksidan pada beberapa negara
Negara | Antioksidan (ppm) | |||
BHA | BHT | Gallate | TBHQ | |
USA | 200 | 200 | 150 | 200 |
UK | 200 | 200 | 100 | - |
Eire | 200 | 200 | 100 | - |
Belgium-Retail | 100 | 100 | 100 | - |
-Manufacturing | 400 | 400 | 400 | - |
Belanda-Retail | 100 | 100 | 100 | - |
- Manufacturing | 400 | 400 | 400 | - |
Italia | 300 | 300 | 100 | - |
Perancis | 100 | 100 | 100 | - |
Luxembourg | 100 | 100 | 100 | - |
Denmark | 100 | 100 | 50 | - |
Jerman Barat | Tidak diizinkan untuk lemak dan minyak, hanya untuk makanan tertentu | - |
Sumber : Allen and Hamilton (1983)
Anti Kempal
Anti kempal adalah senyawa anhidrat yang dapat mengikat air tanpa menjadi basah dan biasanya ditambahkan ke dalam bahan makanan yang bersifat bubuk/partikulat seperti garam meja. Tujuan penambahan senyawa anti kempal adalah untuk mencegah terjadinya penggumpalan dan menjaga agar bahan tersebut dapat dituang (free flowing)
Senyawa anti kempal biasanya merupakan garam-garam anhidrat yang bersifat cepat terhidrasi dengan mengikat air, atau senyawa-senyawa yang dapat mengikat air melalui pengikatan dipermukaan (surface adhesion) tanpa menjadi basah dan menggumpal. Senyawa-senyawa tersebut biasanya adalah senyawa yang secara alami berbentuk hampir kristal (near crystalline).
Senyawa anti kempal dapat digolongkan menjadi (1) garam (aluminium, amonium, kalsium, potasium dan sodium) dari asam lemak rantai panjang (miristat, palmitat, stearat) ; (2) kalsium fosfat; (3) potasium dan sodium ferisianida; (4) magnesium oksida dan (5) garam (aluminium, magnesium, kalsium dan campuran kalsium aluminium) dari asam-asam silikat. Senyawa golongan 1, 2, dan 3 membentuk hidrat, sedangkan 4 dan 5 menyerap air. Potasium dan sodium ferosinida tidak banyak lagi digunakan karena tokisitasnya yang relatif tinggi. Jumlah yang ditambahkan biasanya berkisar pada 1% berat bahan pangan. Senyawa anti kempal umumnya dapat dimetabolisme atau tidak toksik pada tingkat penggunaan yang diijinkan.
Kalsium silikat banyak digunakan untuk menghindari penggumpalan baking powder dan mempunyai kemampuan untuk mengikat air 2,5 kali dari beratnya. Selain mengikat air, kalsium silikat juga dapat mengikat minyak dan senyawa-senyawa non polar lainnya. Sifat ini yang membuat kalsium silikat banyak digunakan di dalam campuran-campuran yang mengandung bumbu, terutama yang kandungan minyaknya tinggi. Kalsium stearat sering digunakan sebagai prossesing aid dalam pembuatan permen keras (hard candy). Senyawa anti kempal yang relatif baru dikembangkan adalah bubuk selulosa berkristal mikro (microcrystalline cellulose powder) dan banyak digunakan untuk produk keju parut agar tidak membentuk gumpalan
Pewarna Makanan
Penentuan mutu bahan makanan pada umumnya sangat tergantung pada beberapa faktor diantaranya citarasa, warna tekstur dan nilai gizi. Tetapi sebelum faktor-faktor tersebut dipertimbangkan secara fisual faktor warna tampil lebih dahulu dan terkadang sangat menentukan. Selain sebagai faktor yang ikut menentukan mutu, warna juga dapat digunakan sebagai indikator kesegaran atau kematangan buah. Warna juga dapat menunjukkan apakah suatu pencampuran atau pengolahan sudah dilakukan dengna baik atau belum.
Di dalam Tranggono dkk. (1990) FDA mendefinisikan pewarna tambahan sebagai ‘pewarna, zat warna atau bahan lain yang dibuat dengan cara sintetik/kimiawi atau bahan alami dari tanaman, hewan atau sumber lain yang diekstrak, disiolasi, yang bila ditambahkan atau digunakan ke bahan makanan, obat atau kosmetik, bisa menjadi bagian dari warna bahan tersebut’.
Menurut Winarno (1997) ada lima sebab yang dapat menyebabkan suatu bahan berwarna yaitu :
1.Pigmen yang secara alami terdapat pada hewan maupun tanaman
2.Reaksi karamelisasi yang menghasilkan warna coklat
3.Reaksi Maillard yang dapat menghasilkan warna gelap
4.Reaksi oksidasi
5.Penambahan zat warna baik zat warna alami (pigmen) maupun sintetik
Pada pengolahan makanan moderen, bahan pewarna sering ditambahkan dengan tujuan untuk memperbaiki warna dari bahan makanan atau untuk memperkuat warna asli dari bahan bahan makanan tersebut.
Pewarna alami, sebagaimana kita telah ketahui, banyak jenis tanaman dan hewan yang mempunyai warna-warna yang indah dan cemerlang. Pemakaian zat warna yang berasal dari tanaman dan hewan ini telah lama dilakukan oleh para pendahulu-pendahulu kita, misalnya daun pandan, daun suji, kunyit dan sebagainya.
Klorofil adalah zat warna alami hijau yang umumnya terdapat pada daun, sehingga sering disebut zat warna hijau daun. Zat warna ini sering diassosiasikan dengan kesegaran sayur-sayuran atau belum masak pada buah-buahan. Terdapat 2 jenis klorofil yang telah berhasil diisolasi yaitu klorofil a dan klorofil b. keduanya terdapat pada tanaman dengan perbandingan 3 :1. Klorofil a termasuk dalam pigmen yang disebut porfirin; hemoglobin juga termasuk di dalamnya.Klorofil a mengandung atom Mg yang diikat dengan N dari 2 cincin pirol dengan ikatan kovalen serta oleh dua atom N dari dua cincin pirol lainmelalui ikatan koordinat; yaitu N dari pirol yang menyumbangkan pasangan elektronnya pada Mg (pada gambar dinyatakan dengan garis putus-putus).
Dalam proses pengolahan pangan, perubahan yang paling umum terjdai ialah penggantian atom magnesium dengan atom hidrogen yang membetnuk feofitin ditandai dengan perubahan warna dari hijau menjadi coklat olive yang suram.
Mioglobin dan hemoglobin ialah zat warna merah pada daging yang tersusun oleh protein globin dan heme yang mempunyai inti berupa zat besi. Heme merupakan senyawa yang terdiri dari dua bagian yaitu atom zat besi dan suatu cincin plana yang besar yaitu porfirin. Porfirin tersusun oleh empat cincin pirol yang dihubungkan satu dengan lainnya dengan jembtan meten. Heme juga disebut feroprotoporfirin.
Baik hemoglobin maupun mioglobin memiliki fungsi yang serupa yaitu berfungsi dalam transfor oksigen untuk keperluan metabolisme.
Karotenoid merupakan kelompok pigmen yang berwarna kuning, oranye, merah oranye yang terlarut dalam lipida (minyak), berasal dari hewan maupun tanaman, misalnya fukoxanthin yang terdapat didalam lumut, lutein, violaxanthin, dan neoxanthin terdapat pada dedaunan, likopen pada tomat, kapsanthin pada cabe merah, biksin pada annatto, caroten pada wortel, dan astazanthin pada lobster.
Anthosianin dan anthoxanthin tergolong pigmen yang disebut flavonoid yang pada umumnya larut dalam air. Anthosianin tersusun oleh sebuah aglikon yang berupa anthosianidin yang teresterifikasi dengan molekul gula yang bisa satu atau lebih. Gula yang sering ditemukan adalah glukosa, ramnosa, galaktosa, xilosa dan arabinosa. Anthosianin yang mengandung satu molekul gula disebut monosida, dua gula disebut diosida dan tiga gula disebut triosida.
Terdapat enam jenis anthosianidin yang sering terdapat dialam, yang penting untuk makanan yaitu pelargonidin, sianidin, delfinidin, peonidin, petunidin dan malvinidin. Semua anthosianidin merupakan derivatif dari struktur dasar kation flavilium. Pada molekul flavilium terjadi subsitusi dengan molekul OH dan Ome untuk membentuk anthosianidin.
Warna pigmen anthosianin merah, biru, violet dan biasanya terdapat pada bunga- buah-buahan dan sayur-sayuran. Warna pigmen dipengaruhi oleh konsentrasi pigmen, dan pH. Pada konsentrasi yang encer anthosianin berwarna biru, sebaliknya pada konsentrasi pekat berwarna merah dan konsentrasi biasa berwarna ungu. Pada pH rendah pigmen anthosianin berwarna merah dan pada pH tinggi berubah menjadi violet dan kemudian menjadi biru.
Pewarna sintetik, perkembangan zat pewarna sintetik cukup pesat Di Amerika Serikat pada tahun 1906 dikeluarkan suatu peraturan yang disebut Food and Drug Act yang memuat tujuh macam zat pewarna yaitu orange no 1, erythrosin, ponceau 3R, amarant, indigotine, naphtol yellow dan ligth green.
Pada tahun 1938 di Amerika juga telah dikeluarkan peraturan baru yaitu yang disebut Food, Drug and Cosmetic Act (FD&C). yang memperluas ruang lingkup peraturan tahun 1906 dan mengatur penggunaan zat pewarna. Zat pewarna dapat digolongkan atas tiga kategori yaitu FD&C Color, D&C Color, dan Ext D&C. FD&C Color adlah zat pewarna yang dizinkan untuk makanan, obat-obatan dan kosmetik. D&C diijinkan penggunaanya dalam obat-obatan dan kosmetik, sedangkan untuk bahan makanan dilarang. Ext D&C diijinkan dalam jumlah terbatas pada obat-obat luar dan kosmetik. Berikut ini Tabel 3 adalah daftar bahan pewarna makanan yang terdaftar pada FAO/WHO dan UK
Di Indonesia, karena undang-undang penggunaan zat pewarna belum ada (hingga saat ini aturan penggunaan zat warna sintetik diatur dalam SK Menteri Kesehatan RI tanggal 22 Oktober 1973 No. 11332/A/SK/73), terdapat kecenderungan penyalahgunaan pemakaian zat pewarna untuk sembarang bahan makanan. Dari hasil pemantauan dan penelitian YLKI mulai tahun 1979, pengunaan pewarna pada berbagai produk diperlihatkan pada Tabel 4. Tabel tersebut menunjukkan bahwa masih banyak penggunaan bahan terlarang sebagai pewarna. Pewarna terlarang yang masih sering dipakai adalah orange RN, auramine, rhodamine B dan methanil yellow. Timbulnya penyalahgunaan zat pewarna tersebut disebabkan oleh ketidaktahuan rakyat mengenai zat pewarna untuk makanan, atau disebabkan karena tidak adanya penjelasan dalam label yang melarang penggunaan senyawa tersebut untuk bahan pangan. Disamping itu, harga zat pewarna untuk industri relatif lebih murah dibandingkan dengan harga zat pewarna untuk makanan
Tabel 3. Pewarna makanan yang terdaftar pada FAO/WHO dan UK
FAO/WHO list :as at May 1977 (many whit conditional use) | UK list : 1960 | UK list : added by 1975 |
Acid Fuchsine FB | Amaranth | Black 7984** |
Allura Red AC | Azorubine | Briliant Blue FCF*** |
Amaranth | Brilliant Black BN | Fast Yelow AB** |
Azorubine (Carmoisine) | Blue VRS* | Patent Blue V |
Briliant Black BN | (t)Brown FK*** | Indianthrene Blue RS** |
Brulliant Blue FCF | Chocolate Brown FB*** | |
Brown FK | (t) Chocolate Brown HT *** | |
Chocolate Brown HT | Erythrosine BS | |
Chrysone | Fast Red E* | |
Eosin | Green S | |
Erythrosine | Indigo Carmine | |
Fast Gree FCF | Naphthol Yellow S* | |
Fast Red E | Oil Yellow GG* | |
Fast Yellow AB | Oil Yellow XP* | |
Green S | Orange G *** | |
Indanthrene (Solanthrene) | Orange RN** | |
Blue RS | Ponceau MX* | |
Indigo Carmine (Indigotine) | Ponceau SX* | |
Patent Blue V | Ponceau3R* | |
Ponceau 4R | Ponceau 4R | |
Ponceau 6R | Qunoline Yellow | |
Qunoline Yellow | (1)Red 2G*** | |
Red 2G | Red 6B* | |
Red 10B | Red 10B* | |
Scarlet GN | Red FB* | |
Sudan G | Sunset Yellow FCF | |
Sunset Yellow FCF | Tatrazine | |
Tatrazine | Violet BNP | |
Violet 5BN | Yellow 2G*** | |
Yellow 2G | Yellow RFS* | |
Yellow 27175N | Yellow RY* |
Keterangan : * : Colours removed from UK list by 1975, ** : colours removed in 1976, *** : Colours not in EEC list, but with 3 years temporary permit ifmarket (t), *** : current volunrtary ban on use
Sumber : Puspitasari, N.L. (1977)
Tabel 4. Hasil Penelitian YLKI atas bahan Pewarna Beberapa Produk
W.P. | Produk | Contoh | P.P. | L.S. | D.L. |
May-79 | Kembang gula | 20 | 3 | 0 | 3 |
Aug-79 | Saos tomat | 37 | 16 | 1 | 15 |
Apr-80 | Sirup Trop.Slim | 3 | 2 | 0 | 1 |
Oct-81 | Krupuk udag | 32 | 32 | 0 | 5 |
Mar-83 | Sirup | 59 | 59 | 0 | 8 |
Nov-84 | Pewarna makanan | 63 | 63 | 9 | 14 |
Sep-86 | Essence | 36 | 36 | 4 | 1 |
Apr-87 | Sirup | 30 | 22 | 0 | 3 |
May-88 | Saos tomat | 35 | 8 | 0 | 2 |
Jun-88 | Saos cabe | 35 | 10 | 0 | 2 |
Mar-90 | Tahu | 20 | 2 | 0 | 2 |
Keterangan :
WP : Waktu Penelitian
PP : Jumlah Produk yang memakai pewarna
LS : Jumlah produk yang memakai pewarna melibihi standar
DL : Jumlah produk yang memakai pewarna terlarang
Sumber : Rustamaji, E. (1997).
Zat Pemanis
Pemanis merupakan komponen bahan pangan yang sangat umum, oleh karena itu agak aneh jika dimasukkan ke dalam daftar bahan tambahan makanan. Oleh karena itu yang termasuk BTM adalah pemanis pengganti gula (sukrosa). Pemanis, baik yang alami maupun sintetis, merupakan senyawa yang memberikan persepsi rasa manis tetapi tidak mempunyai nilai gizi (non-nutritive sweeteners)
Suatu senyawa untuk dapat digunakan sebagai pemanis, kecuali berasa manis harus memenuhi beberapa kriteria tertentu, seperti (1) larut dan stabil pada kisaran pH yang luas, (2) stabil pada kisaran suhu yang luas, (3) mempunyai rasa manis dan tidak mempunyai side atau aftertaste dan (4) murah, setidaknya tidak melebihi harga gula (sukrosa).
Senyawa yang mempunyai rasa manis strukturnya sangat beragam. Meskipun demikian, senyawa-senyawa tersebut mempunyai feature yang mirip, yaitu memiliki sistem donor/akseptor proton (sistem AH/B) yang cocok dengan sistem reseptor (AH/B) pada indera perasa manusia.
Sakarin, merupakan pemanis tertua, termasuk pemanis yang sangat penting peranannya dan biasanya dijual dalam bentuk garam Na atau Ca. Tingkat kemanisan sakarin adalah 300 kali lebih manis daripada gula. Karena tidak mempunyai nilai kalori, sakarin sangat populer digunakan sebagai pemanis makanan diet. Pada konsentrasi tinggi sakarin mempunyai aftertaste pahit. Meskipun hasil pengujian pada hewan percobaan menunjukan kecendrungan bahwa sakarin menimbulkan efek karsinogenik tetapi hal ini belum dapat dibuktikan oleh manusia.
Siklamat merupakan pemanis non-nutritif yang tidah kalah popularnya setelah sakarin. Tingkat kemanisannya 30 kali lebih manis daripada gula dan tidak memberikan after taste. Pada tahun 1970-an di Amerika, Canada dan Inggris siklamat dilarang penggunaannya karena produk degradasinya yaitu sikloheksil amina bersifat karsinogenik
Aspartam atau metil ester dari L-aspartil-L-fenilalanin merupakan pemanis baru yang penggunaannya mulai marak sekitar tahun 1980-an untuk produk-produk minuman ringan. Aspartam merupakan pemanis yang mempunyai nilai kalori karena aspartam merupakan suatu dipeptida, namun karena tingkat kemanisannya yang tinggi (200 kali sukrosa) maka hanya ditambahkan dalam jumlah yang kecil sehingga nilai kalorinya dapat diabaikan. Karena merupakan dipeptida, sapartam mudah terhidrolisis, mudah mengalami reaksi kimia yang biasa terjadi pada komponen pangan lainnya dan mungkin terdegradasi oleh mikroba. Hal tersebut tentunya merupakan limitasi penggunaan aspartam pada produk-produk pangan berkadar air tinggi. Jika mengalami hidrolisis aspartam akan kehilangan rasa manisnya. Di dalam makanan aspartam dapat mengalami kondensasi intramolukuler menghasilkan diketo piperazin.
Asesulfam K. Setelah aspartam, pemanis sintetik yang disetujui penggunaanya dalam bahan pangan adalah asesulfam K. Asesulfam K adalah senyawa 6-metil-1,2,3-oksatizin-4(3H)-on-2,2-dioksida atau merupakan asam asetoasetat dan asam sulfamat. Tingkat kemanisan asesulfam adalah 200 kali lebih manis daripada sukrosa. Pengujian laboratorium telah membuktikan bahwa sesulfam K tidak berbahaya bagi manusia dan stabilitasnya selama pengolahan sangat baik.
Bahaya Sakarin dan Siklamat
Penggunaan sakarin dan siklamat sebagai zat pemanis makanan dari beberapa penelitian ternyata dapat menimbulkan karsinogen. Dari hasil uji coba menunjukkan bahwa meningkatnya tumor kandung kemih pada tikus melibatkan pemberian dosis kombinasi sakarin dan siklamat dengan perbandingan 1: 9. Siklamat yang memiliki tingkat kemanisan yang tinggi dan enak rasanya tanpa rasa pahit walaupun tidak berbahaya dan digunakan secara luas dalam makanan dan minuman selama bertahun-tahun, keamanannya mulai diragukan karena dilaporkan dari hasil penelitian pada tahun 1969 bahwa siklamat dapat menyebabkan timbulnya kankaer kandung kemih pada tikus yang diberi ransum siklamat. Hasil metabolisme siklamat yaitu sikloheksilamina mempunyai sifat karsinogenik. Tingkat peracunan siklamat melalui mulut pada tikus percobaan yaitu LD50 (50% hewan percobaan mati) sebesar 12,0 g/kg berat badan.
Penelitian lain menunjukkan bahwa siklamat dapat menyebabkan atropi yaitu terjadinya pengecilan testicular dan kerusakan kromosom. Pada penelitian lainnya menunjukkan bahwa siklamat terbukti tidak bersifat karsinogen dan uji mutagenisitas jangka pendek tidak membuahkan hasil yang konsisten. Hal ini menyebabkan siklamat di beberapa Negara diizinkan kembali penggunaannya, kecuali negara Amerika Serikat tidak mengizinkan penggunaan siklamat sebagai zat tambahan makanan. Di Indonesia menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No 722/Menkes/Per/1X/88 kadar maksimum asam siklamat yang diperbolehkan dalam makanan berkalori rendah dan untuk penderita diabetes melitus adalah 3 g/kg bahan makanan/minuman. Menurut WHO batas konsumsi harian siklamat yang aman (ADI) adalah 11 mg/kg berat badan. Sedangkan pemakaian sakarin menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No 208/Menkes/Per/1V/85 tentang pemanis buatan dan Peraturan Menteri Kesehatan RI No 722/Menkes/Per/1X/88 tentang bahan tambahan pangan, menyatakan bahwa pada makanan atau minuman olahan khusus yaitu berkalori rendah dan untuk penderita penyakit diabetes melitus kadar maksimum sakarin yang diperbolehkan adalah 300 mg/kg.
Zat Pengawet
Ada sejumlah cara menjaga agar makanan dan minuman tetap layak untuk dimakan atau diminum walaupun sudah tersimpan lama. Salah satu upaya tersebut adalah dengan cara menambahkan zat aditif kelompok pengawet (zat pengawet) ke dalam makanan dan minuman. Zat pengawet adalah zat-zat yang sengaja ditambahkan pada bahan makanan dan minuman agar makanan dan minuman tersebut tetap segar, bau, dan rasanya tidak berubah, atau melindungi makanan dari kerusakan akibat membusuk atau terkena bakteri/jamur. Karena penambahan zat aditif, berbagai makanan dan minuman masih dapat dikonsumsi sampai jangka waktu tertentu, mungkin seminggu, sebulan, setahun, atau bahkan beberapa tahun. Dalam makanan atau minuman yang dikemas dan dijual di toko-toko atau supermarket biasanya tercantum tanggal kadaluarsanya, tanggal yang menunjukkan sampai kapan makanan atau minuman tersebut masih dapat dikonsumsi tanpa membahayakan kesehatan.Seperti halnya zat pewarna dan pemanis, zat pengawet dapat dikelompokkan menjadi zat pengawet alami dan zat pengawet buatan.
a. Zat pengawet alami berasal dari alam, contohnya gula (sukrosa) yang dapat dipakai untuk mengawetkan buah-buahan (manisan) dan garam dapur yang dapat digunakan untuk mengawetkan ikan.
b. Zat pengawet sintetik atau buatan merupakan hasil sintesis dari bahan-bahan kimia. Contohnya, asam cuka dapat dipakai sebagai pengawet acar dan natrium propionat atau kalsium propionat dipakai untuk mengawetkan roti dan kue kering. Garam natrium benzoat, asam sitrat, dan asam tartrat juga biasa dipakai untuk mengawetkan makanan. Selain zat-zat tersebut, ada juga zat pengawet lain, yaitu natrium nitrat atau sendawa (NaNO3) yang berfungsi untuk menjaga agar tampilan daging tetap merah. Asam fosfat yang biasa ditambahkan pada beberapa minuma penyegar juga termasuk zat pengawet.
Selain pengawet yang aman untuk dikonsumsi, juga terdapat pengawet yang tidak boleh dipergunakan untuk mengawetkan makanan. Zat pengawet yang dimaksud, di antaranya formalin yang biasa dipakai untuk mengawetkan benda-benda, seperti mayat atau binatang yang sudah mati. Pemakaian pengawet formalin untuk mengawetkan makanan, seperti bakso, ikan asin, tahu, dan makanan jenis lainnya dapat menimbulkan risiko kesehatan. Selain formalin, ada juga pengawet yang tidak boleh diperguna kan untuk mengawetkan makanan. Pengawet yang dimaksud adalah pengawet boraks. Pengawet ini bersifat desinfektan atau efektif dalam menghambat pertumbuhan mikroba penyebab membusuknya makanan serta dapat memperbaiki tekstur makanan sehingga lebih kenyal.
Boraks hanya boleh dipergunakan untuk industri nonpangan, seperti dalam pembuatan gelas, industri kertas, pengawet kayu, dan keramik. Jika boraks termakan dalam kadar tertentu, dapat menimbulkan sejumlah efek samping bagi kesehatan, di antaranya:
a. gangguan pada sistem saraf, ginjal, hati, dan kulit;
b. gejala pendarahan di lambung dan gangguan stimulasi saraf pusat;
c. terjadinya komplikasi pada otak dan hati; dan
d. menyebabkan kematian jika ginjal mengandung boraks sebanyak 3–6 gram.
Berbagai senyawa mempunyai sifat sebagai antimikroba, diantaranya sulfit dan sulfurdioksida, garam nitrit dan nitrat, asam sorbat, asam propionat, asam asetat, asam benzoat. sulfurdioksida telah lama digunakan dalam makanan sebagai pengawet dan penggunaanya berkembang menjadi berbagai bentuk seperti gas SO2, garam bisulfit dan sulfit. Penelitian menunjukan bahwa sulfurdioksida paling efektif bekerja pada kondisi pH rendah dan diperkirakan hal ini disebabkan oleh H2SO3 yang dalam larutan tidak berdisosiasi. Dalam keadaan tidak terdisosiasi, asam tersebut lebih mudah menembus dinding sel mikroba. Selain bertindak sebagai pengawet sulfurdioksida juga dapat mencegah terjadinya pencoklatan non enzimatis (reaksi Maillard) yaitu dengan cara bereaksi dengan gula pereduksi maupun senyawa antar aldehida. Sulfurdioksida juga mempunyai efek memucatkan pigmen melanoidin yang terbentuk pada reaksi Maillard sehingga sangat efektif dalam mencegah reaksi pencoklatan tersebut. Sulfurdioksida juga sering ditambahkan ke dalam tepung untuk memutus ikatan disulfida pada protein dan memperbaiki mutu adonan yang dihasilkan. Sulfurdioksida dan sulfit dapat dimetabolisme menjadi sulfat dan dieksresi ke dalam urin tanpa efek sampingan lainnya. Sulfurdioksida atau sulfit biasanya ditambahkan pada konsentrasi sekitar 500 – 1000 ppm, tergantung dari tujuan penambahan dan jenis makanan.
Garam potasiium atau sodium dari nitrit dan nitrat ditambahkan pada proses curing daging, juga dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Senyawa yang berperan adalah nitrit dan pada konsentrasi 150-200 ppm dapat menghambat pertumbuhan Clostridia di dalam daging yang dikalengkan. Meskipun demikian, penggunaan nitrit saat ini dihindari karena diduga menghasilkan nitrosamin yang bersifat karsinogenik.
Asam sorbat yang merupakan asam mono karboksilat dan anolog-analognya memiliki ikatan rangkap a (a-unsaturated) mempunyai sifat antimikroba yang sangat kuat. Asam ini biasanya digunakan dalam bentuk garam sodium dan potasiumnya dan diketahui efektif menghambat pertumbuhan kapang dan ragi di dalam berbagai makanan seperti keju, produk-produk bekeri, sari buah, anggur dan acar. Asam sorbat sangat efektif menekan pertumbuhan kapang dan tidak mempengaruhi cita rasa makanan pada tingkat penambahan yang diperbolehkan (sampai 0,3% berat bahan). Aktivitas asam sorbat dan analog-analog asam lemaknya diperkirakan karena mikroba tidak dapat memetabolisme sistem dien dengan ikatan rangkap a. Diperkirakan asam sorbat mengganggu aktivitas enzime dehidrogenase asam lemak pada awal aktivitasnya.
Asam propionat dan asetat juga berperan sebagai anti mikroba terutama kapang dan beberapa bakteri. Asam propionat biasanya digunakan dalam bentuk garam natrium dan kalsium. Senyawa ini secara alami terdapat di dalam keju swiss (sampai 1% berat). Asam propionat selain dapat menghambat kapang juga dapat menghambat pertumbuhan Bacillus mesentericus yang menyebabkan kerusakan ropy bread. Seperti halnya antimikroba lain, asam propionat dalam bentuk tidak terdisosiasi bersifat lebih poten. Toksisitas asam propionat bagi kapang dan sebagian bakteri diakibatkan oleh ketidakmampuan mikroba-mikroba tersebut dalam memetabolisme rangkain 3-karbon. Penggunaan asam asetat dalam pengawetan pangan sudah sejak lama, seperti pada pengacaran (pickle), selain cuka (4 % asam asetat). Selain sebagai antimikroba, asam asetat juga berkontribusi terhadap cita rasa makanan seperti pada mayones, acar, saos tomat dan lain-lain. Aktivitas antimikroba asam asetat meningkat dengan menurunya pH
Asam benzoat seringkali digunakan sebagai antimikroba dalam makanan seperti sari buah, minuman ringan dan lain-lain. Garam sodium dari asam benzoat lebih sering digunakan karena bersifat lebih larut air daripada bentuk asamnya. Asam benzoat sangat poten terhadap ragi dan bakteri dan paling efektif dalam menghambat pertumbuhan kapang. Asam benzoat sering dikombinasikan dengan asam sorbat dan ditambahkan dalam jumlah sekitar 0,05-0,1% berat bahan. Asam benzoat adalah zat pengawet yang sering dipergunakan dalam saos dan sambal. Asam benzoat disebut juga senyawa antimikroba karena tujuan penggunaan zat pengawet ini dalam kedua makanan tersebut untuk mencegah pertumbuhan khamir dan bakteri terutama untuk makanan yang telah dibuka dari kemasannya. Jumlah maksimum asam benzoat yang boleh digunakan adalah 1000 ppm atau 1 gram per kg bahan (permenkes No 722/Menkes/per/1X/1988). Pembatasan penggunaan asam benzoat ini bertujuan agar tidak terjadi keracunan. Konsumsi yang berlebihan dari asam benzoat dalam suatu bahan makanan tidak dianjurkan karena jumlah zat pengawet yang masuk ke dalam tubuh akan bertambah dengan semakin banyak dan seringnya mengkonsumsi. Lebih-lebih lagi jika dibarengi dengan konsumsi makanan awetan lain yang mengandung asam benzoat. Asam benzoat mempunyai ADI 5 mg per kg berat badan (hanssen, 1989 dalam Warta Konsumen, 1997). Asam benzoat berdasarkan bukti-bukti penelitian menunjukkan mempunyai toksinitas yang sangat rendah terhadap manusia dan hewan. Pada manusia, dosis racun adalah 6 mg/kg berat badan melalui injeksi kulit tetapi pemasukan melalui mulut sebanyak 5 sampai 10 mg/hari selama beberapa hari tidak mempunyai efek negatif terhadap kesehatan.
Kalium Sorbat merupakan salah satu dari garam-garaman sorbat yang lainnya yaitu K, Na, dan Ca sorbat. Zat pengawet K-sorbat mempunyai fungsi dan batasan maksimum penggunaan yang sama dengan asam benzoat. Oleh karena itu penggunaan K-sorbat sebagai pengawet dalam bahan makanan juga tidak boleh berlebihan agar tidak terjadi keracunan. ADI K-sorbat adalah 25 mg/kg berat badan. Penggunaan maksimum K-sorbat dalam makanan berkisar antara 0,05 – 0,3 % untuk yang diaplikasikan langsung dan antara 10 – 20 % untuk yang disemprotkan atau diaplikasikan pada permukaan makanan. Garam sorbat itu lebih sering digunakan karena mempunyai kelarutan yang lebih baik dalam air dan bekerja dalam keadaan tak terdisosiasi, dengan keaktifan 10 – 600 kali bentuk asamnya.
Natrium Nitrit merupakan zat tambahan pangan yang digunakan sebagai pengawet pada pengolahan daging. Natrium nitrit sangat penting dalam mencegah pembusukan terutama untuk keperluan penyimpanan, transportasi dan ditribusi produk-produk daging. Natrium nitrit juga berfungsi sebagai bahan pembentuk faktor-faktor sensori yaitu warna, aroma, dan cita rasa. Oleh karena itu dalam industri makanan kaleng penggunaan zat pengawet ini sangat penting karena dapat menyebabkan warna daging olahannya menjadi merah atau pink dan nampak segar sehingga produk olahan daging tersebut disukai oleh konsumen. Menurut peraturan menteri kesehatan RI nomor 722/Menkes/Per/IX/88 tentang bahan tambahan makanan menyatakan bahwa kadar nitrit yang diijinkan pada produk akhir daging proses adalah 200 ppm. Sedangkan USDA (United States Departement Of Agriculture) membatasi penggunaan maksimum nitrit sebagai garam sodium atau potasium yaitu 239,7 g/100 L larutan garam, 62,8 g/100 kg daging untuk daging curing kering atau 15,7 g/100 kg daging cacahan untuk sosis. Bagi anak-anak dan orang dewasa pemakaian makanan yang mengandung nitrit ternyata membawa pengaruh yang kurang baik.
Nitrit bersifat toksin bila dikonsumsi dalam jumlah yang berlebihan. Nitrit dalam tubuh dapat mengurangi masuknya oksigen ke dalam sel-sel atau otak. Menurut beberapa ahli kimia nitrit yang masuk ke dalam tubuh melalui bahan pengawet makanan akan bereaksi dengan amino dalam reaksi yang sangat lambat membentuk berbagai jenis nitrosamin yang kebanyakan bersifat karsinogenik kuat. Hasil penelitian Magee dan Barnes (1954) menunjukkan bahwa nitrosodimetilamin merupakan senyawa racun bagi hati yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan hati pada beberapa presies hewan termasuk manusia. Penelitian lebih lanjut menunjukkan nitrisodimetilamin juga merupakan kasinogen kuat, yang dapat menimbulkan tumor terutama pada hati dan ginjal tikus pecobaan. Dari hasil percobaan terhadap tikus, 500 ppm dari nitrosamine menyebabkan tumor hati malignant dalam waktu 26 – 40 minggu. Pada dosis yang lebih tinggi lagi menyebabkan tumor kandung kemih. Pada dosis 30 mg/kg berat badan akan badan mempercepat timbulnya tumor ginjal.
Zat Penyedap Cita Rasa
Di Indonesia terdapat begitu banyak ragam rempah-rempah yang dipakai untuk meningkatkan cita rasa makanan, seperti cengkeh, pala, merica, ketumbar, cabai, laos, kunyit, bawang, dan masih banyak lagi yang lain. Melimpahnya ragam rempah-rempah ini merupakan salah satu sebab yang mendorong penjajah Belanda dan Portugis tempo dulu ingin menguasai Indonesia. Jika rempah-rempah dicampur dengan makanan saat diolah, dapat menimbulkan cita rasa tertentu pada makanan.
Selain zat penyedap cita rasa yang berasal dari alam, ada pula yang berasal dari hasil sintesis bahan kimia. Berikut ini beberapa contoh zat penyedap cita rasa hasil sintesis:
a. Oktil asetat, makanan akan terasa dan beraroma seperti buah jeruk jika dicampur dengan zat penyedap ini;
b. Etil butirat, akan memberikan rasa dan aroma seperti buah nanas pada makanan;
c. Amil asetat, akan memberikan rasa dan aroma seperti buah pisang;
d. Amil valerat, jika makanan diberi zat penyedap ini maka akan terasa dan beraroma seperti buah apel.
Selain zat penyedap rasa dan aroma, seperti yang sudah disebutkan di atas, terdapat pula zat penyedap rasa yang penggunaannya meluas dalam berbagai jenis masakan, yaitu penyedap rasa monosodium glutamat (MSG).. Zat ini tidak berasa, tetapi jika sudah ditambahkan pada makanan maka akan menghasilkan rasa yang sedap. Penggunaan MSG yang berlebihan telah menyebabkan “Chinese restaurant syndrome” yaitu suatu gangguan kesehatan di mana kepala terasa pusing dan berdenyut. Bagi yang menyukai zat penyedap ini tak perlu khawatir dulu. Kecurigaan ini masih bersifat pro dan kontra. Bagi yang mencoba menghindari untuk mengonsumsinya, sudah tersedia sejumlah merk makanan yang mencantumkan label “tidak mengandung MSG” dalam kemasannya. Pada pembahasan sebelumnya, kamu sudah mempelajari tentang pengelompokkan zat aditif berdasarkan fungsinya beserta contoh-contohnya. Perlu kamu ketahui bahwa suatu zat aditif dapat saja memiliki lebih dari satu fungsi.
Seringkali suatu zat aditif, khususnya yang bersifat alami memiliki lebih dari satu fungsi. Contohnya, gula alami biasa dipakai sebagai zat aditif pada pembuatan daging dendeng. Gula alami tersebut tidak hanya berfungsi sebagai pemanis, tetapi juga berfungsi sebagai pengawet. Contoh lain adalah daun pandan yang dapat berfungsi sebagai pemberi warna pada makanan sekaligus memberikan rasa dan aroma khas pada makanan. Untuk penggunaan zat-zat aditif alami, umumnya tidak terdapat batasan mengenai jumlah yang boleh dikonsumsi. perharinya. Untuk zat-zat aditif sintetik, terdapat aturan penggunaannya yang telah ditetapkan sesuai Acceptable Daily Intake (ADI) atau jumlah konsumsi zat aditif selama sehari yang diperbolehkan dan aman bagi kesehatan. Jika kita mengonsumsinya melebihi ambang batas maka dapat menimbulkan risiko bagi kesehatan.
Monosodium Glutamat
Monosodium glutamat atau MSG adalah salah satu bahan tambahan makanan yang digunakan untuk menghasilkan flafour atau cita rasa yang lebih enak dan lebih nyaman ke dalam masakan, banyak menimbulkan kontroversi baik bagi para produsen maupun konsumen pangan karena beberapa bagian masyarakat percaya bahwa bila mengkonsumsi makanan yang mengandung MSG, mereka sering menunjukkan gejala-gejala alergi. Di Cina gejala alergi ini dikenal dengan nama Chinese Restaurant Syndrome (CRS). Beberapa laporan menyatakan bahwa orang-orang yang makan di restoran Cina, setelah pulang timbul gejala-gejala alergi sebagai berikut: mula-mula terasa kesemutan pada punggung dan leher, bagian rahang bawah, lengan serta punggung lengan menjadi panas, juga gejala-gejala lain seperti wajah berkeringat, sesak dada dan pusing kepala akibat mengkonsumsi MSG berlebihan. Gejala-gejala ini mula-mula ditemukan oleh seorang dokter Cina yang bernama Ho Man Kwok pada tahun 1968 yaitu timbulnya gejala-gejala tertentu setelah kira-kira 20 sampai 30 menit konsumen menyantap makanan di restoran China.
Komisi penasehat FDA (FDA”s Advisory Committee) bidang Hypersensitivity to Food Constituents dari hasil penelitiannya melaporkan 2 hal mengenai gejala CRS tersebut yaitu: MSG dicurigai sebagai penyebab CRS dan pada saat itu ditemukan bahwa ternyata hidangan sup itulah yang dianggap sebagai penyebab utama timbulnya gejala CRS tersebut. Kesimpulan Komisi Penasihat FDA terhadap penelitian tersebut yaitu MSG tidak mempunyai potensi untuk mengancam kesehatan masyarakat umum tetapi reaksi hipersensitif atau alergi akibat mengkonsumsi MSG memang dapat terjadi pada sebagian kecil masyarakat. Ambang batas MSG
untuk manusia adalah 2 sampai 3 g, dan dengan dosis lebih dari 5 g maka gejala alergi (CRS) akan muncul dengan kemungkinan 30 persen. Penggunan vetsin (MSG) dalam beberapa jenis makanan bayi yang dipasarkan dalam bentuk bubur halus, yang dikenal sebagai baby Foods sesungguhnya dilakukan hanya untuk memikat konsumen (ibu-ibu) oleh rasa lezat. Sedangkan pengaruhnya terhadap makanan, vetsin tidak akan menambah gizi maupun selera makan bagi bayi karena bayi tidak begitu peduli oleh rasa.
Dari hasil penelitian Dr. John Alney dari fakultas Kedokteran Universitas Washington, St. Louis pada tahun 1969 menunjukkan bahwa penggunaan vetsin dalam dosis yang tinggi (0,5 mg/kg berat badan setiap hari atau lebih) diberikan sebagai makanan kepada bayi-bayi tikus putih menimbulkan kerusakan beberapa sel syaraf di dalam bagian otak yang disebut Hypothalamus. Bagian otak inilah yang bertanggung jawab menjadi pusat pengendalian selera makan, suhu dan fungsi lainnya yang penting. Bagi ibu-ibu yang sedang mengandung dan mengkonsumsi MSG dalam jumlah besar, di dalam plasentanya ternyata ditemukan MSG dua kali lebih banyak dibanding dalam serum darah ibunya. Hal ini berarti jabang bayi mendapat masukan MSG dua kali lebih besar. Percobaan terhadap vetsin dari segi gizi dan rasa bagi bayi tidak ada gunanya, maka penghindaran pemakaian dan konsumsi MSG bagi bayi dan ibu mengandung perlu diperhatikan, dikurangi atau bila perlu dicegah.
Pengemulsi
Emulsi didefinisikan sebagai suatu sistim yang terdiri dari dua fase cairan yang tidak saling melarut, dimana salah satu cairan terdispersi dalam bentuk globula-globula di dalam cairan lainnya. Cairan yang terpecah menjadi globula-globula dinamakan fase terdispersi, sedangkan cairan yang mengelilingi globula-globula dinamakan fase kontinyu atau medium dispersi
Istilah pengemulsi (emulsifier) atau sulfaktan dalam beberapa hal kurang tepat, karena bahan ini dapat melakukan beberapa fungsi yang pada beberapa jenis produk tidak berkaitan langsung dengan pembentukan emulsi sama sekali.
Fungsi-fungsi pengemulsi pangan dapat dikelompokan menjadi tiga golongan utama yaitu :
1. Untuk mengurangi tegangan permukaan pada permukaan minyak dan air, yang mendorong pembentukan emulsi dan pembentukan kesetimbangan fase antara minyak, air dan pengemulsi pada permukaan yang memantapkan antara emulsi.
2. Untuk sedikit merubah sifat-sifat tekstur, awetan dan sifat-sifat reologi produk pangan, dengan pembentukan senyawa kompleks dengan komponen-komponen pati dan protein.
3. Untuk memperbaiki tekstur produk pangan yang bahan utamanya lemak dengan mengendalikan keadaan polimorf lemak
Sistim kerja emulsifier berhubungan erat dengan tegangan permukaan antara kedua fase (tegangan interfasial). Selama emulsifikasi, emulsifier berfungsi menurunkan tegangan interfasial sehingga mempermudah pembentukan permukaan interfasial yang sangat luas. Bila tegangan interfasial turun sampai di bawah 10 dyne per cm, maka emulsi dapat dibentuk; sedangkan bila tegangan interfasial mendekati nilai nol, maka emulsi akan terbentuk dengan spontan.
Pada dasarnya emulsifier merupakan surfactan yang mempunyai dua gugus, yaitu gugus hidrofilik dan gugus lipofilik. Gugus hidrofilik bersifat polar dan mudah bersenyawa dengan air, sedangkan gugus lipofilik bersifat non polar dan mudah bersenyawa dengan minyak. Di dalam molekul emulsifir, salah satu gugus harus lebih dominan jumlahnya. Bila gugus polarnya yang lebih dominan, maka molekul-molekul emulfisier tersebut akan diadsoprsi lebih kuat oleh air dibandingkan dengan minyak. Akibatnya tegangan permukaan air menjadi lebih rendah sehingga mudah menyebar dan menjadi fase kontinyu. Demikian pula sebaliknya, bila gugus nonpolarnya lebih dominan, maka molekul-molekul emulsifier tersebut akan diadsopsi lebih kuat oleh minyak dibandingkan dengan air. Akibatnya tegangan permukaan minyak menjadi lebih rendah sehingga mudah menyebar dan menjadi fase kontinyu
Banyak cara-cara sudah dikembangkan untuk mendapatkan pengemulsi atau campuran-emulsi untuk mendapatkan sifat khusus suatu produk pangan yang tepat atau campuran emulsi yang tepat untuk mendapatkan sifat-sifat khusus produk pangan. Teori pertama untuk menduga pembentukan emulsi, apakah O/W atau W/O adalah yang disebut hukum Bancrobt, yang dikemukakan pertama kali pada tahun 1913. Teori tersebut menyatakan bahwa fase yang mana bahan pengemulsinya mudah larut, menjadi fase eksternal. Teori selanjutnya adalah pemilihan dengan sistem keseimbangan sifat hidrofilik dan lipofilik (Hidrophilic-Lipophilic Balance/HLB) yang dikemukakan oleh Griffin. Nilai-nilai HLB suatu pengemulsi yang rendah menunjukan pengemulsi bersifat bersifat hidrofilik yang lemah. Kenaikan nilai HLB menunjukkan kenaikan polaritas molekul-molekul pengemulsi..
Griffin mengajukan persamaan sebagai berikut untuk menghitung nilai HLB suatu bahan pengemulsi :
HLB = 20 (1- S/A)
dimana, S = angka penyabunan esternya
A = angka asam-asam lemaknya
Jika dua atau lebih pengemulsi harus dicampurkan (biasanya pencampuran memberikan efek yang lebih baik), nilai HLB kombinasi dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut :
% A = 100 (X - HLBB)/(HLBA - HLBB) dan
% B = 100 -% (A)
dimana X adalah HLB campuran dari pengemulsi A dan B yang dibutuhkan
Dibawah ini disajikan nilai HLB dari beberapa jenis bahan pengemulsi
Tabel 8.1 Daftar nilai HLB dari beberapa zat pengemulsi
No. | Nama zat pengemulsi | Nilai HLB |
1. | Sodium stearoyl-2-lactylate | 21,1 |
2. | Potasium Oleate | 20,0 |
3. | Sodium Oleate | 18,1 |
4. | Polyoxyethylene 20 sorbitan monooleate | 15,8 |
5. | Polyoxyethylene 20 sorbitan monoolearate | 14,9 |
6. | Polyoxyethylene 5 sorbitan monoolearate | 10,9 |
7. | Gum acasia | 11,9 |
8. | Gum Tragacant | 11,9 |
9. | Methyl cellulose | 10,5 |
10. | Polyoxyethylene sorbitan tristearate | 10,5 |
11. | Gelatin | 9,8 |
12 | Tetraglycrol monostearate | 9,1 |
13. | Diacetyl tartaric acid ester of monoglycerida | 9,2 |
14. | Sorbitan monolaurate | 8,5 |
15 | Sorbitan monosolmitate | 6,6 |
16. | Sorbitan Monoolearate | 5,7 |
17 | Succinic acid ester of monoglyceriates | 5,3 |
18. | Diglycerol monostearate | 5,5 |
19 | Propylane glycol monolaurate | 4,6 |
20. | Glycerol-lactic-palmitate | 3,7 |
21. | Gycerol monostearate | 3,7 |
22. | Propylene glycol monostearate | 3,4 |
23. | Mono dan diglyserides | 2,8 |
24 | Sorbitan tristearate | 2,1 |
25 | Oleic acid | 1,0 |
Sumber : Poerie and Tung (1976) di dalam Tien R.Muchtadi (1990)
Berikut ini adalah contoh-contoh emulsifier yang umum digunakan dalam bahan pangan :
Mono dan Diglycerides, dikenal juga dengan istilah discrete substances. Pertama kali dibuat oleh Berthelot pada tahun 1853 melalui reaksi esterifikasi asam lemak dan glycerol. Mono dan diglycerides merupakan zat pengemulsi yang umum digunakan. Komponen-komponen ini dapat diperoleh dengan memanaskan triglyceride dan glycerol dengan suatu katalis yang bersifat basa. Reaksi ini akan menghasilkan campuran yang terdiri dari ± 45% monogliserida dan ± 45 % digliserida, serta ± 10% trigliserida bersama-sama dengan sejumlah kecil gliserol dan asam-asam lemak bebas. Mono dan digliserida yang terbentuk kemudian dipisahkan dengan cara destilasi molekuler. Yang tergolong mono dan diglycerides diantaranya adalah
* Glycerol monolaurate, dibuat dari reaksi glycerol dan asam laurat
* Ethoxylated mono dan diglycerides (EMG), juga disebut dengan polyoxyethylene (20) mono dan diglycerides
* Diacetyl tartaric acid ester of monoglycerides (DATEM)
* Lactic acid ester of monoglycerides, misalnya glyceril lactylpalmitate
* Succinylated monoglycerides
Stearoyl Lactylates, merupakan hasil reaksi dari steric acid dan lactic acid, selanjutnya diubah ke dalam bentuk garam kalsium dan sodium. Bahan pengemulsi ini sering digunakan dalam produk-produk bakery
Propylene Glycol Ester, merupakan hasil reaksi dari propylene glycol dan asam-asam lemak. Umumnya digunakan di dalam pembuatan kue, rati dan whipped topping.
Sorbitan Esters. Asam sorbitan terbentuk dari reaksi antara sorbitan dengan asam lemak. Sorbitan adalah produk dihidrasi dari gula alkohol yang dapat diperoleh secara alami yaitu sorbitol. Sampai saat ini hanya sorbitan monostearat, satu-satunya ester sorbitan yang diizinkan digunakan dalam pangan dan umumnya digunakan dalam pembuatan kue, whipped topping, cake icing, coffe whiteners dan pelapis pelindung buah dan sayuran segar.
Polysorbates. Ester polioksietilen sorbitan umumnya disebut polisorbat. Ester ini dibuat dari reaksi antara ester-ester sorbitan dengan ethylene oxide. Tiga jenis polisorbat yang diijinkan untuk digunakan dalam pangan adalah polisorbat 60, Polisorbat 65, polisorbat 80.
Polyglycerol Ester, dibuat dari reaksi antara asam-asam lemak dan glycerol yang sudah mengalami polimerisasi. Tingkat polimerisasinya antara 2-10 molekul. Ester-ester poliglycerol digunakan dalamp pangan yang diaerasi mengandung lemak, beverage, icing, dan margarine.
Ester-ester sukrosa, adalah mono, di dan triester sukrosa dengan asam-asam lemak. Ester ini dihasilkan dari reaksi sukrosa dan lemak sapi. Penggunaanya dalam pangan umumnya pada pembuatan roti, produk tiruan olaha susu, whipped milk product.
Lecitin, adalah campuran fosfatida dan senyawa-senyawa lemak yang terdiri dari fosfatidil kolin, fosfatidil etanolamin, fosfatidil inositol.dan komponen-komponen lainnya. Lesitin merupakan bahan penyusun alami pada hewan maupun tanaman. Lecitin paling banyak diperoleh dari kedele dan kuning telur. Biasanya digunakan untuk emulsifier pada margarine, roti, kue dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. E-book: Belajar IPA Membuka Cakrawala Alam Sekitar untuk Kelas VIII bab VIII diakses melalui http://www.4shared.com/pdf/2009/0246886/index.htm
Anonim. Zat Aditif Dalam Makanan Bahaya dan Cara Pencegahannya diakses dari http://kimia.upi.edu/utama/bahanajar/kuliah_web/2009/0706796/index.htm pada tanggal 27 Februari 2010
Suryani, Sri. Hati-Hati Jajanan Anak-Anak Mengandung Zat Berbahaya diakses dari http://yaniche-mes-try.blogspot.com/2009/04/zat-aditif-makanan.html pada tanggal 27 Februari 2010
Sastrawijaya, Tresna. 1991. Pencemaran Lingkungan. Jakarta:Rineka Cipta
Crosby, G.A and Furia, T.E. 1980. New Sweeteners. Di dalam Furia, E.T. (ed.). CRC Handbook of Food Addtives. Vol II. CRC Press. INC. Florida.
Dziezak, J. D. 1988. Emulsifiers : The Interfacial Key to Emulsion Stability. J. Food Technology, October, 1988.
Fennema, O.R. 1985. Food Chemistry. Marcel Dekkeer, Inc. New York
Imeson, A. 1992. Exudate Gums. Di dalam Thickening and Gelling Agents For Food. Imeson A (ed.). Blackie Academic and Professional. London
Kelly E. H., Anthony R. T., Dennis J. . 2002. Flavonoid antioxidant : Chemistry, Metabolisme and Structure-activity Relationships. J. of Nutritional Biochemistry, 13(2002):572-584
Muchtadi, D. 1997. Radikal bebas dan Penyakit Kronis. Modul Pelatihan. Pelatihan Pengendalian Mutu dan keamanan Pangan Bagi Staf Pengajar, Bogor, 21 Juli- 2 Agustus 1997. Kerjasama PAU Pangan an Gizi IPB dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Noonan, J.E. and Harry M. 1980. Syntetic Food Colors. Di dalm Furia, E.T. (ed.). CRC Handbook of Food Addtives. Vol II. CRC Press. INC. Florida
Puspitasari N.L. 1997. Bahan Tambahan Pangan, Manfaat dan Resiko Penggunaannya. Modul Pelatihan. Pelatihan Pengendalian Mutu dan keamanan Pangan Bagi Staf Pengajar, Bogor, 21 Juli- 2 Agustus 1997. Kerjasama PAU Pangan an Gizi IPB dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Rice-Evans, C.A., N.J. Miller, G. Paganga. 1997. Antiosidant Properties of Phenolic Compounds. J. Trends in Plant Science, April 1997, Vol 2 No. 4
Rustamji, E. 1997 (YLKI). Penggunaan Bahan Terlarang pada Makanan dan Minuman. Makalah. Didalam Temu Karya Penggunaan Bahan Tambahan Makanan (BTM) Oleh Industri Pangan. Kerjasama Kantor Menteri Negara Urusan Pangan dan Jurusan TPG, Fateta IPB, tanggal 22 Februari 1997. Jakarta
Shahidi, F. and M. Naczk. 1991. Food Phenolics: Sources, Chemistry, Effects, Applications. Technomic Publishing Co. Inc.
Siebert, K.J. 1999. Protein-Polyphenol Haze in Beverages. J. Food Technology, January 1999 Vol 53, No.1: 54-69
Sudarmaji, S. 1982. Bahan-bahan Pemanis. Penerbit Agritech. Yogyakarta
Tien R. Muchtadi. 1990. Emulsi Bahan Pangan. Diktat Kuliah. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. IPB. Bogor.
Timmermann. 2000. Food Emulsifier-Basic Theory to Practical Realities. J.Asia Pacific Fodd Industry, August : 64-67.
Tranggono, Sutardi, Haryadi, Suparmo, Agnes Murdiati, Slamet Sudarmadji, Kapti Rahayu, Sri Naruki dan Mary Astuti. 1990. Bahan Tambahan Makanan. PAU Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada. Jogjakarta.
Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar