Minggu, 13 Februari 2011

Tragedi Cinta dari Bali (Legenda Jayaprana – Layonsari)

Legenda Jayaprana – Layonsari lebih dikenal sebagai duka carita kisah percintaan antara dua manusia yang berlainan jenis. Kisahnya yang melegenda sampai sekarang sering menimbulkan pertanyaan di masyarakat. Walau nama tempat dalam cerita masih ada sampai sekarang dan beberapa bukti fisik dan keturunan yang terkait dengan kisah tersebut.

Kisah ini berawal dari adanya kerajaan di Kalianget kira-kira pertengahan abad XVI. Berdasarkan babad Ida I Dewa Kaleran diceritakan bahwa pendiri kerajaan Kalianget adalah Ida I Dewa Kaleran Pemayun Sakti yang merupakan putera pertama dari I Dewa Gedong Artha dan cucu dari Ida Sri Agra Samprangan yang merupakan raja yang bertahta di Keraton Samprangan (sebelah timur Gianya sekarang).

Walau sebagai putera pertama, namun Ida I Dewa Kaleran bertekad akan mengabdikan hidupnya dibidang pertahanan dan keamanan (swadhramaning sang ksinatria). Untuk membuktikannya beliau mohon diri pada ayahandanya (Ida I Dewa Gedong Artha) berangkat ke arah tmur laut Bali yaitu daerah Culik dan Tulamben diiringi oleh panjak sebanyak 200 orang dari berbagai wangsa yaitu Pulasari, Pasek, Bendesa, Pande dan para petandakan). Lengkap dengan pusaka leluhur beliau diantaranya pusaka Ki Baan Kau, Ki Kala Rau, Ki Sekar Sandat, Ki Ratu Pande, dan Ki Baru Ngit. Pada waktu itu daerah tersebut dikacau oleh para bajak laut dari Bugis, Sasak, Sumbawa dan Madura. Karena kemenangan beliau, oleh rakyat Culik dinobatkan sebagai raja di Culik. Namun tidak bertahan lama karena sebagai raja bukanlah ambisi beliau. Apalagi terdengan berita bahwa di daerah Songan (di kaki Gunung Batur) diganggu oleh I Banas Pati Raja yang bermukim di hutan Aa. Berkat jasa beliau pulalah I Banas Pati Raja bisa dikalahkan sehingga daerah Songan menjadi aman. Beliau pun diberi gelar “Ida I Dewa Kaleran Pemayun Sakti”.

Kemudian terdengar kabar bahwa di daerah barat laut Bali yang merupakan daerah hutan pandan dihuni oleh makhluk halus sehingga masyarakat disana sering dilanda ketakutan. Karena rasa kemanusiaan berangkatlah beliau I Dewa Kaleran Pemayun Sakti menuju hutan tersebut. Di tengah perjalanan sampai di suatu bukit (di sebelah desa Benyah sekarang), beliau bersama pengiringnya beristirahat menikmati perbekalan berupa ketupat. Pada saat memerlukan air, ditancapkanlah pusaka Ki Baan Kau ke tanah. Dalam sekejap muncul mata air yang sangat jernih. Mata air tersebut diberi nama “Merta Ketipat” atau “Yeh Ketipat”. Oleh beliau juga daerah barat laut Bali bisa diamankan. Atas jasa beliau, oleh rakyat disana dinobatkan sebagai raja beristanakan di Kalianget dan bergelar Ida Sang Prabu Kalianget.

Mengingat sektor pertanahanan dan kemanan di barat laut Bali sudah aman dan terkendali, maka dikembangkanlah sektor lain yaitu perbaikan ekonomi dengan cara meningkatkan produksi pertanian. Mengingat daerah Kalianget adalah daerah kering dan tandus dan rakyat mengetahui Sang Prabu mempunyai pusaka yang ampuh yang bisa menciptakan mata air maka rakyat memohon mata air untuk mengairi pertanian mereka. Sang Prabu memerintahkan untuk membuat saluran air yang ditujukan ke kaki Gunung Watukaru. Dan Sang Prabu menuju kaki Gunung Watukaru.  

Ketika beliau akan menancapkan pusakanya ke tanah, terdengar sabda bahwa Ida Betara Gunung Watukaru tidak mengijinkan niat Sang Prabu tersebut. Bila Sang Prabu tetap pada niatnya, maka kerajaan akan hancur. Sang Prabu mengurngkan niatnya, lalu kembali ke istana.

Lama-kelamaan saluran yang telah dibuat ditumbuhi semak belukar. Oleh masarakat setempat dinamakan Tukad Menaun karena sudah bertahun-tahun aliran air tersebut tidak dialiri air dan hanya ditumbuhi semak belukar. Di sisi lain rakyat sangat berharap pada mata air. Akhirnya Sang Prabu mengambil keputusan, apapun yang terjadi raja siap menanggung akibatnya demi kesejahteraan rakyat. Sang Prabu kembali ke kaki Gunung Watukaru untuk menancapkan pusakanya. Sabda pun terdengar lagi, Ida Betara Gunung Watukaru sangat marah. Air pun muncul dan mengairi sungai Menaun sampai sekarang. 

Awal dari kisah Jaya Prana adalah karena keberanian raja yang tidak mengindahkan larangan sehingga lambat laun kutukan sudah mulai menunjukkan tanda-tandanya. Rakyat dilanda wabah penyakit tapi tidak sampai di keraton. Ida Betara Gunung Watukaru menjelma menjadi menjelma menjadi seorang anak putri yang dipungut oleh I Gede bendesa yang diberi nama Ni Layon Sari, dan menjadi seorang anak laki-laki. Pada saat Sang Prabu meninjau rakyatnya yang terkena wabah, anak kecil tersebut dipungut ddan diberi nama I Jaya Prana. I Jaya Prana tumbuh menjadi seorang anak yang tampan, patuh dan cerdas sehingga menjadi anak kesayangan raja. Setelah besar Jaya Prana disuruh mencari jodoh dan bertemulah ia dengan Layon Sari yang kemudian dinikahkan oleh Sang Prabu di keraton. 

Pada saat pernikahan berlangsung ternyata secara diam-diam Sang Prabu tertarik pada kecantikan Layon Sari. Dipanggillah maha patih agung Ki Patih Sawunggaling untuk membunuh Jaya Prana dengan taktik memerintahkan Jaya Prana untuk mengamankan margasatwa yang dirusak Wong Bajo (orang Madura) di barat Bali yaitu di Teluk Terima. 

Pada hari yang telah ditentukan, kira-kira 7 hari setelah pernikahan, rombongan yang dipimpin oleh Ki Patih Sawunggaling dan diiringi oleh puluhan pengiring beserta I Jaya Prana berangkat ke Teluk Terima. Perjalanan tersebut dilepas dengan sedih oleh Layon Sari.

Sesampainya di Teluk terima, Ki Patih Sawunggaling menunjukkan sepucuk surat dari Sang Prabu bahwa atas perintah raja akan membunuh Jaya Prana. Darah keluar dengan bau harum semerbak, yang disertai dengan tanda kebesaran seperti petir, gempa, hujan dan pelangi yang menyebabkan semua orang yang hadir bersedih dan terharu.

Setelah selesai upacara penguburan, rombongan kembali pulang. Dalam perjalanan pulang tersebut, rombongan dibuntuti harimau. Akhirnya terjadi bermacam-macam malapetaka, seperti ada yang diterkam harimau, digigit ular, dan tersedak yang menyebabkan 40 orang pengiring meninggal dunia. 

Sisa rombongan yang berjumlah 19 orang berhasil kembali ke istana. Ni Layon Sari berusaha mencari informasi tentang keadaan suaminya. Melalui salah seorang rombongan yang datang didapat bahwa suaminya telah dibunuh oleh Ki Patih Sawunggaling atas perintah Sang Prabu. Mendengar berita tersebut, Ni Layon Sari sangat sedih.

Raja berpura-pura sedih atas kematian I Jaya Prana. Dengan dalih untuk menghibur kesedihan Ni Layon Sari, Sang Prabu menyuruh agar ia tinggal di istana. Pada saat itulah Sang Prabu meminta dengan sangat agar Ni Layon Sari bersedia menjadi istrinya. Lebih dari itu, Sang Prabu bersedia untuk menyerahkan seluruh isi istana asalah Ni Layon Sari bersedia memenuhi permintaan Sang Prabu.

Ni Layon Sari menolak dengan rendah hati semua permintaan Sang Prabu. Sebagai wujud kesetiaannya terhadap suaminya, akhirnya Ni Layon Sari bunuh diri dengan sebuah pedang. Sang Prabu terkejut telah meninggal dunia, Sang Prabu meratapi jenazah Ni Layon Sari di pangkuannya. Sang Prabu lalu menjadi gelap mata dan mengamuk lalu bunuh diri. Setelah keributan selesai, orang tua Ni Layon Sari mengambil jenazah anaknya. Kemudian dibawa ke Banjar Sekar untuk dikuburkan.

Demikianlah akhirnya kerajaan Kalianget menemui kehancuran. Ini akibat Sang Prabu tidak mengindahkan larangan Ida Betara Gunung Watukaru. Memang sebagai seorang raja atau kesatria kepentingan rakyat adalah diatas segalanya. Sang Prabu rela kereajaannya hancur demi kesejahteraan rakyat.


3 komentar:

  1. kenapa tidak diceritakan raja yang sekarang disungsung dipura prabu?. pura prabu disebut-sebut sebagai pura peninggalan kerajaan

    BalasHapus
  2. Mohon maaf, Pura Prabu apa yang anda maksud? dan letaknya dimana?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pura Prabu terletak di desa Kalianget, Kecamatan Banjar, Kab. Buleleng. Pura Prabu diemong oleh warih Prabu Kaliangaet seluruh Bali

      Hapus