Sabtu, 05 Maret 2011

Pemaknaan Hari Raya Nyepi Tahun Baru Caka 1933


Nyepi berasal dari kata sepi, artinya sunyi atau diam, atau wu wei seperti yang dikatakan oleh Lao Tse dalam Taoisme dalam ajaran filsafat Cina, yaitu membiarkan alam dalam satu hari itu melakukan aktifitasnya sendiri secara spontan dan alami tanpa dipengaruhi oleh manusia (Mel Thomson,1999: 173), bukan hanya itu manusia juga menghentikan kegiatannya selama satu hari agar tubuhnya itu berjalan sesuai dengan hukumnya sendiri, karena telah beraktifitas selama satu tahun penuh. Pada tanggal 5 Maret 2011 malam, seluruh Bali akan gelap, seluruh Bali diam, semua orang Hindu diam, menghayati “Hari Nyepi menyambut Tahun Baru Saka 1933”. Baik alam maupun manusia dalam satu hari itu diam istirahat, ditelaah, diselidiki, direfleksikan, diendapkan seperti salah satu ciri dari ilmu filsafat, dengan demikian kekurangan akan semakin tampak nyata, apa yang ada di bawah permukaan akan terangkat ke atas sehingga kepatutan dan kewajaran akan terbuka dan tampak nyata, baik alam maupun diri kita, baik makrokosmos maupun mikrokosmos, untuk kemudian ada proses recovery kembali dan siap mendukung dan memutar roda kehidupan kembali di bumi ini.

Seperti sebuah accu yang setelah secara terus menerus digunakan dalam satu tahun penuh, perlu di charge atau diisi kembali agar tenaganya dapat digunakan untuk mendukung aktifitas berikutnya, menggerakkan peralatan-peralatan lainnya sesuai dengan fungsi masing-masing. Proses ini terjadi bukan hanya pada diri manusia saja tapi pada seluruh keberadaan yang menempati alam ini. Oleh karena gerak perubahan itu ditentukan oleh semua keberadaan yang menempati alam ini termasuk juga alam itu sendiri. Maka dari itu harus ada kerja sama, harus ada sinergi diantara sesamanya secara harmonis. Dari sini jelas kelihatan bagaimana harmonisasi itu harus mendasari sikap, langkah dan gerak yang akan dilakukan bersama, karena hubungan antara mikro dan makrokosmos, antara manusia dan alam dilihat sebagai satu kesatuan organis (Ramanuja: Vedic 1977 : 50-51), dimana gerak dan langkah yang satu akan berpengaruh pada yang lainnya, satu sama lainnya saling mempengaruhi. Hanya dalam gerak yang harmonis yang memungkinkan secara bersama, sama semua yang ada mendapat kesempatan secara adil dan setara menuju kepada perubahan yang dituju, tidak ada diskriminasi, tidak ada yang merasa paling penting dan mengabaikan yang lainnya. (Gde Aryantha Soethama, 2003).
 
Rangkaian upacara dalam merayakan Hari Raya Nyepi ini pertama diawali dengan ritual Melasti, Tawur Agung Kesanga, Mebuu-buu, Pengarakan ogoh-ogoh, Puncak Nyepi dan Ngembak Geni.

Melasti/Mekiyis/Melis
Upacara Melasti
Melasti, yaitu menyucikan peralatan persembahyangan, simbol-simbol suci Tuhan, baik dalam wujud arca-arca yang merupakan wujud Tuhan secara imanen, Tuhan seperti yang dihayati pemeluknya. Arca-arca yang berada di tempat sembahyang (pura, pemerajan, tempat suci) itu diusung ke laut oleh umatnya untuk mendapatkan pembersihan, membuang kekotoran. Laut dipercaya sebagai tempat untuk pembersihan atau membuang kekotoran. Bila kita lihat dari konsep Tri Hita Karana, maka upacara ini merupakan perwujudan dari Hita untuk “Parahyangan”, membersihkan Parahyangan, tempat-tempat suci.
 
Tawur Agung Kesanga
Pecaruan Tawur Agung
Rangkaian upacara kedua dilanjutkan upacara Bhuta Yadnya, Tawur Kesanga atau Tawur Agung, merupakan upacara untuk meyucikan alam semesta ini, alam semesta non manusia, atau makrokosmos. Hal ini dilakukan sehari sebelum Hari Raya Nyepi, dimana pada siang harinya pukul 12.00 dilakukan Pecaruan di Catus Patha/Perempatang Agung (upacara dilakukan diperempatan jalan yang langsung berhubungan dengan gunung dan laut) untuk menetralisir energi-energi yang setelah satu tahun berjalan menggerakkan roda kehidupan, sudah mengalami ketidak seimbangan, untuk menjadikannya seimbang lagi. Perempatan jalan disimbolkan sebagai tempat bertemunya energi-energi positif dan negatif, maka itulah upacara itu dilakukan di tempat itu. Upacara Bhuta Yadnya selalu digunakan sebagai upacara pembuka dalam setiap upacara-upacara yang lain (pernikahan, piodalan, peresmian bangunan). Hari Raya Nyepi merupakan upacara Bhuta Yadnya yang berdiri sendiri tanpa dicangkokkan dalam upacara yang lainnya, merupakan upacara Bhuta Yadnya terbesar. Oleh karena upacara ini dilaksanakan pada Tilem (bulan mati) sasih Kesanga (bulan sembilan = kira-kira sekitar bulan Maret) maka upacara ini juga disebut sebagai Tawur Ke Sanga. (Mas Muterini, 1988).
 
Sarana yang digunakan adalah caru sesuai tingkatan tempat penyelenggaraannya. Pecaruan juga di lakukan di tiap pekarangan rumah, pura, kantor, balai desa dan seluruh tempat di Bali. Pecaruan selain untuk menyeimbangkan kekuatan positif dan negative di alam juga untuk menyomia (meruwat) para butha kala (kekuatan negative alam berupa jin, setan dan sejenisnya) menjadi kekuatan positif dan pelindung.

Sore harinya di tiap rumah dilakukan upacara mebuu-buu, upacara mebuu merupakan acara yang merupakan symbol pengusiran roh jahat dari areal pekarangan rumah. Kepala keluarga akan membawa daun kelapa tua yang dibakar, menyemburkan bawang, kencur dan sejenisnya, diiringi seluruh penghuni rumah yang memercikkan tirtha (air suci) dari Pura-pura Besar di Bali, Tirtha Pura desa dan tirta dari hasil tawur agung. Di samping itu pula penghuni rumah memukul benda-benda yang mengeluarkan bunyi, seperti kentungan, panic, penggorengan atau apapun yang bertujuan mengusir roh jahat dari rumah.

Pengerupukan dan Pawai Ogoh-ogoh
Sore menjelang malam (twilight) dilanjutkan dengan upacara Pengrupukan yang dilakukan dengan berkeliling membawa obor, air suci, bunyi-bunyian, sebagai simbol untuk menetralisir kekuatan-kekuatan negatif, kekuatan-kekutan jahat yang dalam wujud kontemporer seperti korupsi, perampokan, pencurian, pemerkosaan, penipuan, keserakahan dan lain sebagainya, yang oleh masyarakat disimbolkan dengan “ogoh-ogoh” (semacam patung raksasa terbuat dari sterofoam) yang diusung dan akhirnya pada akhir upacara dibakar. Upacara ini dari konsep Tri Hita Karana, masuk pada penyucian “Pelemahan”, areal pertanahan, pemukiman, perladangan, tempat kerja dan sebagainya.
Ogoh-ogoh merupakan patung besar yang menggambarkan sifat-sifat negatif atau menggambarkan cerita penumpasan hal negatif. Ogoh-ogoh merupakan sebuah hasil karya seni yang dalam pembuatannya memerlukan dana yang tidak sedikit. Setelah pengerupukan berakhir maka ogoh-ogoh akan dibakar sebagai simbol pemusnahan hal-hal negatif. dewasa ini ogoh-ogoh semakin menarik karena patung tersebut bisa divariasikan sehingga tampak mengambang, tampak seperti hidup, dapat berputar dan sebagainya.

Ogoh-ogoh dengan kreasi seni dan arsitektur tinggi mampu mengambang tanpa roboh 

Mengisahkan cerita asal-usul penyelengaraan Wayang Sapuh Leger akibat pengejaran Sang Hyang Kala terhadap Rare Kumara (penyangga ogoh-ogoh hanya berupa kayonan kecil pada kaki Rare Kumara dimana menyangga seluruh tubuh Rare Kumara dan Sang Hyang Kala yang tampak mengambang) 

Ogoh-ogoh Rare Kumara yang tampak nyata mirip seperti manusia  asli

Puncak Nyepi/Sipeng

Keesokan harinya merupakan acara ketiga dilanjutkan dengan Penyepian, yaitu “tapa brata”, bagi setiap orang Hindu yaitu ada tiga pilihan yang bisa diambil, pertama bisa memilih untuk melaksanakan upawasa (tidak makan), bisa juga memilih untuk tidak tidur atau begadang (jagra) atau memilih untuk tidak bicara (mona brata). Namun yang wajib dalam perayaan Nyepi adalah melaksanakan Catur Brata Penyepian yang terdiri dari amathi Geni (tidak menyalakan penerangan/api termasuk api amarah dan nafsu dalam diri), amathi karya (tidak bekerja), amathi lelanguan (tidak bersenang-senang) dan amathi lelungaan (tidak berpergian). Hal ini dipercaya dapat memberikan kemampuan pada setiap orang untuk introspeksi diri, setelah dalam satu tahun melakukan segala aktifitas yang buruk maupun yang baik, merenung dan mencoba melihat kelemahan-kelemahan diri pribadi, evaluasi diri untuk dapat dikoreksi dalam tahun baru yang akan dijelang keesokan harinya. Ini adalah merupakan upacara penyucian diri manusia, yang dalam konteks Tri Hita Karana disebut sebagai “Pawongan”. Dengan demikian didalam usaha manusia Hindu untuk memasuki Tahun Baru Caka maka tiga komponen dalam Tri Hita Karana (Parahyangan – Palemahan – Pawongan) secara serentak dibersihkan, disucikan sehingga secara bersama sama mulai memasuki tahun baru dengan modal kesucian yang sama untuk bersama-sama memutar kembali alam semesta ini menuju perubahan seperti yang diharapkan bersama.
 
Ngembak geni/Ngembak Api
Keesokan harinya merupakan upacara keempat yang disebut sebagai Ngembak Geni merupakan acara menghidupkan api yang maknanya menghidupkan api semangat untuk menjadi lebih baik di tahun baru, saling mengunjungi kerabat atau teman sekerja atau seprofesi, atau teman dekat untuk saling maaf memaafkan atas perbuatan yang selama ini barangkali telah menyebabkan kerugian atau kesusahan bagi orang lainnya, dengan semangat kebersamaan, saling mencintai, saling menyadari kekurangan masing-masing, mengoreksi kembali tindakan-tindakan bersama yang merugikan salah satu ekosistem yang ada. (Tim Penyusun: “Agama Hindu", 2004: 108-110). Dengan demikian makna Hari Raya Nyepi merupakan perwujudan dari prosesi penggantian Tahun Saka dari 1932 ke tahun Baru Saka 1933, dengan semangat kebersamaan dalam kesetaraan dan keadilan, sebagai perwujudan “Kasih Sayang Universal” terhadap sesama Umat Manusia, meluas sampai Kasih Sayang Sesama Kehidupan bahkan Kasih Sayang kepada Segala Sesuatu Yang Ada. Budaya Hindu dalam bentuk upacara-upacara adat bukanlah suatu budaya yang hanya memiliki manfaat estetis semata, sebagai sesuatu yang hanya bermanfaat untuk dipertunjukkan kepada wisatawan mancanegara maupun lokal, dan bukan pula suatu yang dilakukan untuk menghambur-hamburkan uang semata, tapi sebagai suatu refleksi diri tentang kehidupan kita sebagai manusia di dunia ini. Kehidupan sebagai manusia di dunia ini adalah kehidupan bersama dengan orang lain, kehidupan bersama dengan mahluk-mahluk hidup lainnya dan kehidupan bersama ini adalah kehidupan bersama dalam satu Planet Bumi yang sama pula. 
di beberapa tempat di Bali memiliki tradisi unik pada Ngembak Geni seperti di Banjar Sesetan Kaja yang melaksanakan ritual Omed-omedan yaitu ciuman mulut antar pemuda dan pemudi selain itu juga ada tradisi mekotekan yaitu mengacungkan batang bambu hingga membentuk menara lalu dinaiki serta banyak lagi tradisi yang berbeda di tiap daerah di Bali.
Omed-omedan ada;ah tradisi berciuman dari Banjar Sesetan Kaja. Remaja yang berciuman bukanlah sepasang kekasih namun sesuai urutan berbarisnya. Pria di kanan dan wanita di kiri lalu didorong berlari oleh rekannya di belakang hingga pria dan wanita saling bertabrakan dan berciuman. Jika dirasa cukup oleh wasit maka mereka akan diguyur dengan air agar ciumannya berhenti.
Tradisi Mekotekan

Dharma Shanti
Dharma santhi adalah penutup rangkaian perayaan Hari Raya Nyepi dimana kita saling bermaaf-maafan, dan memberi daksina pada para Pendeta ataupun orang suci serta bersedekah pada orang miskin.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar